Learning

Haloo teman-teman semuaa, gimana nih kabarnyaa? Nah kali ini aku bakalan share apa aja yang akan aku pelajari di pertemuan keempat mata kuliah Psikologi Umum II yang diajarin sama ibu Dwi Puspasari, M.Psi., Psikolog yang membahas tentang “Learning” nih teman-teman.

Definition Of Learning

Learning adalah sebuah perubahan karakter atau tingkah laku yang disebabkan oleh pengalaman dan bersifat relatif permanen. Learning atau belajar merupakan kebiasaan dari setiap individu. Karena dengan belajar mereka bisa melakukan banyak hal. Learning bersifat Relatif Permanen karena ketika seseorang melakukan atau mempraktekkan suatu kegiatan, bagian otak tertentu akan mencatat segala aktivitas atau kegiatan yang ia lakukan.

Sebagaimana ketika seseorang mengalami aktivitas yang membuatnya merasa tersakiti, maka otaknya akan memproses hal tersebut menjadi memori yang ditakuti sehingga ia tidak akan melakukan hal itu lagi. Begitupun sebaliknya, ketika seseorang mengalami aktivitas yang membuatnya merasa senang, maka otaknya akan memproses hal tersebut menjadi memori yang disenangi sehingga dengan senang hati ia akan melakukan hal tersebut berulang kali. Namun, tidak semua perubahan dapat dikatakan learning.

Terdapat beberapa perubahan yang disebabkan oleh genetik, seperti contohnya ketika anak umur 1 tahun mulai bisa berjalan. Hal ini tidak disebabkan oleh learning tapi karena pertumbuhan bagian saraf-saraf otot kakinya serta pendewasaan dirinya.Terdapat beberapa macam jenis learning : Classical conditioning, Operant conditioning, Cognitive learning theory, dan Observational learning.


Makna Belajar

  1. Terjadi perubahan perilaku (observable)
  2. Terjadi secara relatif permanen (transitory)
  3. Tidak terjadi segera setelah pengalaman belajar (potential act)
  4. Perubahan perilaku terjadi sebagai hasil pengalaman/latihan (experience/practice)
  5. Latihan harus dikukuhkan (reinforced)


Terdapat  perilaku yang tidak dipelajari :

  1. Refleks berupa perilaku sederhana yaitu respon yang tidak dipelajari dalam bereaksi terhadap stimulus tertentu.
  2. Instink berupa perilaku kompleks yaitu suatu kapasitas bawaan untuk membentuk perilaku kompleks tertentu
  3. Imprinting, terjadi dalam critical period akibat kelekatan yang erat antara organisme dengan suatu obyek di lingkungan
  4. Maturasi berupa perilaku akibat kematangan 

Classical Conditioning

Classical conditioning adalah proses dimana suatu stimulus atau rangsangan yang awalnya tidak memunculkan respon tertentu, diasosiasikan dengan stimulus kedua yang dapat memunculkan. Hasilnya, stimulus pertama pun dapat memunculkan respon.

Classical conditioning diperkenalkan oleh seorang psikolog kebangsaan Rusia yang bernama Ivan Petrovitch Pavlov (1849-1936). Ia melakukan studi empiris melalui percobaannya terhadap sistem pencernaan anjing. Dalam penelitiannya ini, ia melakukan operasi kecil pada saluran air liur anjing, sehingga ketika anjing tersebut mengeluarkan air liur, air liurnya dapat dikumpulkan di luar tubuhnya dan dapat diamati dengan lebih mudah.

Penelitian Pavlov sendiri pada awalnya bertujuan untuk mengetahui tentang mekanisme pencernaan. Untuk mengetahui tentang air liur, Pavlov menggunakan anjing, makanan, dan lonceng sebagai subjek dan objek penelitian. Pavlov meletakkan selang yang menembus pipi anjing dan selang untuk menampung cairan lambung setiap anjing. Pada mulanya, anjing-anjing itu diperdengarkan suara lonceng, suara lonceng pada anjing awalnya hanyalah stimulus netral atau tidak memiliki makna apa-apa terhadap refleks anjing. Selanjutnya, setiap lonceng dibunyikan akan diletakkan daging kedalam mulut setiap anjing, air liur dan cairan lambung masing-masing anjing menunjukkan adanya peningkatan. Ini terjadi berulang kali hingga saat lonceng dibunyikan sekali lagi, tidak ada daging yang diletakkan kedalam mulut, namun air liur dan cairan lambung anjing tetap menunjukkan adanya peningkatan. Suara lonceng yang awalnya adalah stimulus netral, berubah menjadi Classical conditioning. Proses anjing-anjing ini memahami bunyi lonceng dan mengkaitkannya dengan daging disebut dengan Learning atau belajar.

Terdapat beberapa elemen dari classical conditioning, yaitu sebagai berikut :

a)  Unconditioned stimulus (UCS), merupakan stimulus yang alamiahnya menghasilkan respon yang tidak disadari. Dalam penelitian Pavlov, makanan adalah unconditioned stimulus.

b) Unconditioned response (UCR), adalah respon yang dikeluarkan saat menerima unconditioned stimulus. Respon ini bersifat tidak dipelajari dan merupakan suatu yang bersifat genetik dalam sistem saraf. Dalam kasus Pavlov, air liur yang dikeluarkan anjing saat diberikan makanan adalah unconditioned response.

c)  Conditioned stimulus (CS), merupakan suatu stimulus yang apabila diasosiasikan dengan unconditioned stimulus secara terus menerus akan memicu respon, pada percobaan Pavlov, conditioned stimulus nya adalah bunyi lonceng. Bunyi lonceng ini akan memicu air liur pada anjing. Conditioned stimulus merupakan suatu stimulus yang dipelajari.

d) Conditioned response (CR), merupakan respon yang diberikan saat terjadinya conditioned stimulus, biasanya respon ini tidak sekuat unconditioned response, akan tetapi respon yang diberikan masih respon yang sama. Pada percobaan Pavlov, respon yang diberikan adalah air liur.

Pavlov kemudian menggabungkan semua elemen classical conditioning menjadi satu kesatuan. Pavlov memasangkan suara detak metronome (perangkat sederhana yang menghasilkan suara detak berirama) atau bunyi lonceng dan menyajikan makanan untuk melihat apakah anjing pada akhirnya akan mengeluarkan air liur saat mendengar bunyi lonceng. Awalnya bunyi lonceng tidak menghasilkan air liur, dan disebut neutral stimulus (NS) sebelum pengkondisian apa pun terjadi. Pasangan berulang dari NS dan UCS (uncontioned stimulus) biasanya disebut acquisition, karena organisme sedang dalam proses memperoleh pembelajaran.

Kemudian, Pavlov dan peneliti lainnya merumuskan beberapa prinsip dasar tentang proses classical conditioning:

1.   CS harus terjadi sebelum UCS. Jika Pavlov membunyikan metronom tepat setelah dia memberi anjing makanan, mereka tidak terjadi classical conditioning.

2.  CS dan UCS harus datang dengan waktu yang berdekatan. Ketika Pavlov mencoba memperpanjang waktu antara CS dan UCS menjadi beberapa menit, tidak ada asosiasi atau hubungan antara keduanya yang dibuat. Terlalu banyak yang bisa terjadi dalam interval waktu yang lebih lama untuk mengganggu pengkondisian.  

3.   Neutral stimulus harus dipasangkan dengan UCS beberapa kali, sebelum pengkondisian dapat terjadi.

4.  CS biasanya merupakan stimulus yang khas atau menonjol dari stimulus lainnya. Metronom, misalnya, adalah suara yang biasanya tidak ada di laboratorium dan hal tersebut yang menjadikannya berbeda.

Proses-proses Dasar dalam Classical Conditoning

  • Acquisition : Akuisisi merupakan tahap awal pembelajaran dalam classical conditioning. Pada percobaan pavlov, awalnya seekor anjing biasanya tidak menghasilkan air liur Ketika mendengar suara bel, maka suara bel tersebut merupakan stimulus netral (NS) sebelum pengkondisian apa pun terjadi. Pasangan berulang dari NS dan UCS biasanya disebut akuisisi, karena organisme dalam proses memperoleh pembelajaran.
  • Extinction : Apa yang akan terjadi jika seekor anjing yang telah dikondisikan secara klasik untuk mengeluarkan air liur saat bel berbunyi, tidak pernah lagi menerima makanan saat bel dibunyikan? Jawabannya terletak pada salah satu fenomena dasar pembelajaran: kepunahan. Kepunahan terjadi ketika respons yang sebelumnya dikondisikan menurun frekuensinya dan akhirnya menghilang. 

Untuk menghasilkan kepunahan, kita perlu mengakhiri asosiasi antara conditioned stimulus dan unconditioned stimulus. Sebagai contoh, jika kita telah melatih seekor anjing untuk mengeluarkan air liur (respon terkondisi) saat mendengar bunyi bel (stimulus terkondisi), kita dapat menghasilkan kepunahan dengan membunyikan bel secara berulang-ulang tetapi tidak memberikan daging. Pada awalnya anjing akan terus mengeluarkan air liur saat mendengar bunyi bel, tetapi setelah beberapa kali kejadian seperti itu, jumlah air liurnya mungkin akan menurun, dan akhirnya anjing akan berhenti merespons bunyi bel tersebut. Pada saat itu, kita dapat mengatakan bahwa responsnya telah padam. Singkatnya, kepunahan terjadi ketika conditioned stimulus disajikan berulang kali tanpa unconditioned stimulus.

  • Spontaneus recovery : Setelah respons terkondisi dipadamkan, apakah respons tersebut lenyap selamanya? Belum tentu. Setelah memadamkan respons air liur yang terkondisi pada  anjing-anjingnya, Pavlov menunggu beberapa minggu, dan menyingkirkan stimulus yang terkondisi (yaitu bunyi bel). Tidak ada lagi sesi latihan, dan anjing-anjing tersebut tidak terpapar bunyi bel sama sekali pada saat itu. Tetapi ketika Pavlov mengeluarkan bel kembali dan membunyikannya, anjing-anjing itu mulai mengeluarkan air liur, meskipun itu adalah respons yang cukup lemah dan tidak bertahan lama. Pemulihan singkat dari respons terkondisi ini membuktikan bahwa CR "masih ada di sana" di suatu tempat (ingat, pembelajaran relatif permanen).

Respon ini hanya ditekan atau dihambat oleh kurangnya hubungan dengan stimulus makanan yang tidak terkondisi (yang tidak lagi memperkuat atau memperkuat CR). Seiring berjalannya waktu, penghambatan ini melemah, terutama jika stimulus terkondisi yang asli sudah lama tidak ada. Pada spontaneus recovery (pemulihan spontan), respons terkondisi dapat muncul kembali secara singkat ketika CS yang asli kembali, meskipun responsnya biasanya lemah dan berlangsung singkat. 

Spontaneus recovery membantu menjelaskan mengapa sangat sulit untuk mengatasi kecanduan narkoba. Misalnya, pecandu kokain yang dianggap “sembuh” bisa mengalami dorongan yang tak tertahankan untuk menggunakan obat lagi jika mereka kemudian dihadapkan pada rangsangan yang memiliki hubungan kuat dengan obat tersebut, seperti bubuk putih.

  • Generalization : Pavlov memperhatikan anjing-anjingnya sering mengeluarkan air liur tidak hanya saat mendengar bunyi bel yang digunakan selama pengkondisian awal, tetapi juga saat mendengar bunyi yang serupa. Perilaku seperti itu adalah hasil dari generalisasi stimulus. Generalisasi stimulus adalah proses di mana, setelah stimulus dikondisikan untuk menghasilkan respons tertentu, stimulus yang mirip dengan stimulus asli menghasilkan respons yang sama. Semakin besar kemiripan antara dua rangsangan, semakin besar pula kemungkinan terjadinya generalisasi rangsangan. Albert kecil, dikondisikan untuk takut pada tikus putih, menjadi takut pada benda putih berbulu lainnya juga. Namun, menurut prinsip generalisasi stimulus, kecil kemungkinannya ia akan takut pada anjing hitam, karena warnanya akan membedakannya secara memadai dari stimulus asli yang membangkitkan rasa takut. 

Respons terkondisi yang ditimbulkan oleh stimulus baru biasanya tidak sekuat respons terkondisi yang asli, meskipun semakin mirip stimulus baru dengan stimulus lama, semakin mirip pula respons barunya. Pavlov menemukan bahwa suara yang mirip akan menghasilkan respons terkondisi yang serupa dari anjing-anjingnya. Dia dan peneliti lain menemukan bahwa kekuatan respons terhadap suara yang mirip tidak sekuat suara aslinya, tetapi semakin mirip suara lain dengan suara asli (baik itu metronom atau jenis suara lainnya), semakin mirip pula kekuatan responsnya. Kecenderungan untuk merespons stimulus yang mirip dengan stimulus asli yang dikondisikan disebut generalisasi stimulus.

Tentu saja, Pavlov tidak memberi anjing-anjing itu makanan apa pun setelah bunyi detak yang sama. Mereka hanya mendapatkan makanan setelah mengikuti CS yang benar. Tidak butuh waktu lama bagi anjing-anjing itu untuk berhenti merespons (menggeneralisasi) suara detak "palsu" sama sekali. Karena hanya CS yang asli yang diikuti dengan makanan, mereka belajar untuk membedakan, atau mendiskriminasikan, antara bunyi detak palsu dan bunyi detak CS, sebuah proses yang disebut diskriminasi stimulus. Diskriminasi stimulus terjadi ketika suatu organisme belajar merespons rangsangan yang berbeda dengan cara yang berbeda.

  • Discrimination : terjadi jika dua stimulus cukup berbeda satu sama lain sehingga yang satu membangkitkan respons terkondisi tetapi yang lain tidak. Diskriminasi stimulus memberikan kemampuan untuk membedakan antara rangsangan. Sebagai contoh, seekor anjing akan berlari ke dapur ketika mendengar suara pembuka kaleng elektrik, yang telah ia pelajari untuk membuka makanan anjingnya ketika makan malam akan disajikan. Dia tidak terikat ke dapur saat mendengar suara pengolah makanan, meskipun kedengarannya mirip. Dengan kata lain, ia membedakan antara rangsangan pembuka kaleng dan pengolah makanan. Demikian pula, kemampuan kita untuk membedakan antara perilaku anjing yang menggeram dan anjing yang ekornya mengibas-ngibas dapat mengarah pada perilaku adaptif-menghindari anjing yang menggeram dan mengelus-elus anjing yang bersahabat.

 

Cara Kerja Classical Conditioning

1.  Stage 1 (before conditioning) : Sebelum pengkondisian, ada dua rangsangan yang tidak berhubungan: dering lonceng dan daging. Kita tahu bahwa secara normal, bunyi lonceng tidak menimbulkan air liur, melainkan suatu respons yang tidak relevan, seperti menusuk-nusuk telinga atau mungkin reaksi terkejut. Oleh karena itu, bel disebut sebagai stimulus netral, karena merupakan stimulus yang tidak memberikan pengaruh terhadap air liur. Kita juga memiliki daging, yang secara alami menyebabkan anjing mengeluarkan air liur (respons yang ingin kita kondisikan). 

Daging dianggap sebagai stimulus tak terkondisi (UCS) karena makanan yang dimasukkan ke dalam mulut anjing secara otomatis menyebabkan keluarnya air liur. Respons yang ditimbulkan oleh daging (air liur) disebut respons tak terkondisi (UCR) (respons refleksif alami, bawaan, dan tidak terkait dengan pembelajaran sebelumnya). Respons tak terkondisi selalu ditimbulkan oleh adanya rangsangan tak terkondisi.

2.  Stage 2 (during conditioning) : Selama pengkodisian berlangsung suara bel (neutral stimulus) dan daging (unconditioned stimulus) diasosiasikan. Suara bel dibunyikan terlebih dahulu lalu diikuti dengan penyajian daging sehingga menimbulkan respon yang sama dengan unconditioned stimulus. Setelah melakukan pengasosiasian bel dan daging, bel itu sendiri menyebabkan anjing mengeluarkan air liur.

3.  Stage 3 (after conditioning) : Akhirnya, dering bel sudah menimbulkan air liur. Dapat dikatakan bahwa pengkondisian telah tercapai: bel telah berevolusi dari stimulus netral menjadi stimulus terkondisi (CS). Pada saat ini, air liur yang terjadi sebagai respons terhadap stimulus terkondisi (bel) dianggap sebagai respons terkondisi (CR).

Penerapan classical conditioning dalam perilaku manusia sebagai berikut:

a)   Fobia, merupakan salah satu contoh dari conditioned emotional response (CER). Fobia sendiri adalah ketakutan sebagai respon emosional yang alami, yang berkaitan dengan dengan kelangsungan hidup. Conditioned emotional response merupakan salah satu classical conditioned yang sering kita jumpai. Misalnya seorang anak tumbuh dewasa dengan melihat ibunya sering ketakutan melihat anjing liar, bahkan ibunya pernah digigit anjing tersebut sehingga harus mendapatkan suntik rabies. Oleh karena itu, anaknya tumbuh menjadi anak yang takut terhadap anjing, meskipun belum pernah digigit oleh anjing sehingga terdengar tidak masuk akal. 

b)  Penghindaran rasa terkondisi, terjadi pada saat mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan dan berkaitan dengan suatu hal. Misalnya pecandu narkoba akan diberikan obat yang menjadikannya mual sewaktu mengonsumsi alkohol, dimana hal tersebut dapat melepaskannya dari kecanduan alkohol. Sama halnya yang terjadi kepada obat kemoterapi yang diberikan kepada pasien kanker. Obat ini akan berefek mual, sehingga pasien enggan makan sebelum perawatan kemoterapi.

c)   Dependensi narkoba, adalah adanya asosiasi terhadap sesuatu yang berkaitan dengan narkoba yang menghasilkan respon yang “tinggi”. Penyalahgunaan narkoba, baik yang berasal dari turunan opiat, stimulan, maupun depresan seperti alkohol, terjadi di lingkungan tertentu, dengan orang tertentu, dan bahkan mungkin menggunakan benda-benda tertentu, seperti sendok kecil yang digunakan oleh pecandu kokain atau alat isap sabu. Hal-hal tersebut dapat menjadi rangsangan terkondisi yang terkait dengan narkoba dan dapat menghasilkan respons "tinggi" yang dikondisikan. Hal tersebut pula menjadikan seseorang sulit untuk menolak penggunaan obat tersebut.

Operant Conditioning

Operant Conditioning atau pengkondisian operan adalah suatu penguatan perilaku operan (penguatan positif atau negatif) yang dapat berulang kembali atau menghilang seseuai dengan keinginan. Dalam teori B.F. Skinner, disebutkan bahwa respon terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan terjadi akibat adanya reinforcement (penguatan). Reinforcer ini menimbulkan dan meningkatkan respon-respon tertentu, akan tetapi tidak terjadi dengan sengaja. Jadi reinforcer ini merupakan proses alamiah yang memang tidak disusun sebelumnya.

Operant conditioning sudah digunakan oleh manusia dalam ribuan tahun ini, misalnya dalam mengasuh anak, mengajari hewan, dan lainnya, namun pembelajaran ini tidak di analisis secara sains sampai tahun 1890-an oleh Edwin L. Thornike yang menginvestigasi kemampuan belajar hewan. Dari banyaknya eksperimen Thorndike yang dilakukan menggunakan hewan, yang paling terkenal adalah yang menggunakan kucing. Thorndike menempatkan kucing-kucing yang kelaparan di sebuah kotak yang disebut “kotak puzzle” dan melihat waktu yang dibutuhkan kucing-kucing itu untuk keluar dari kotak untuk meraih makanan yang diletakkan diluar kotak. Kucing tersebut dapat membuka pintu kotak dengan cara menginjak sebuah pedal yang dihubungkan dengan kawat kaitan pintu. Setelah percobaan berulang-ulang, didapati bahwa waktu yang dibutuhkan kucing untuk keluar dari kotak untuk meraih makanan semakin singkat. Dari percobaan ini, Thorndike menemukan bahwa belajar dapat dikendalikan dengan hadiah melalui kotak puzzle-nya.

Proses pembelajaran yang dilakukan kucing tadi disebut sebagai proses trial and error. Kucing tadi tidak langsung mendapatkan jalan keluar secara instan, tapi ia melaluinya setelah beberapa kali kesalahan. Berdasarkan percobaan tadi, Thorndike merumuskan efek hukum (law of effect) : Jika sebuah kegiatan diikuti konsekuensi menyenangkan, maka ada kemungkinan untuk bisa diulangi. Sebaliknya, jika diikuti konsekuensi tidak menyenangkan, hal itu cenderung tidak akan diulangi (Thorndike, 1911). Hal itulah yang menjadi dasar perilaku sukarela (voluntary behavior) yang menjadi pokok dalam pengkondisian ini.

Setelah penelitian Thorndike tadi cukup terkenal, Skinner tampaknya tertarik dengan apa yang ditemukan oleh Thorndike. Skinner menemukan kalau penelitian Thorndike menjadi cara menjelaskan perilaku sebagai sebuah pembelajaran. Skinner (1983) memberi nama pembelajaran tersebut dengan istilah operant conditioning. Baginya, perilaku sukarela adalah operant conditioning, dan pembelajaran tingkah laku semacam itu disebut sebagai operant conditioning. Bagian penting dari operant conditioning adalah efek dari konsekuensi yang diberikan kepada perilaku. Oleh karena itu, Skinner mengenalkan istilah reinforcement atau penguatan dalam teorinya.

Menurut Skinner, penguatan adalah suatu cara yang mengakibatkan respons tersebut bisa terulang lagi. Istilah ini tidak jauh berbeda dengan law of effect yang dikemukakan Thorndike. Ketika seseorang mendapatkan konsekuensi yang menyenangkan, maka respons orang tersebut bisa terulang lagi. Konsekuensi menyenangkan itu bisa berupa kebutuhan dasar kita yang terpenuhi. Contoh sederhananya, ketika kita lapar, maka kita mendapatkan makanan untuk memenuhi hasrat lapar kita. Dalam proses penelitian Thorndike di kotak puzzle tadi, Skinner menjelaskan keberhasilan kucing tadi disebabkan karena adanya reinforcement yang diberikan oleh Thorndike. Reinforcement yang diberikan berupa makanan, sehingga meningkatkan daya juang kucing. Dalam pengkondisian ini, penguatan menjadi kunci dalam pembelajaran. Selain Thorndike, Skinner memiliki alat penelitiannya sendiri yang disebutnya sebagai ‘Skinner’s Box’ atau kotak operant conditioning.

Skinner membagi jenis penguatan berdasarkan kepentingannya menjadi dua :

a)   Penguatan utama (primary reinforcer), yaitu penguatan yang memenuhi kebutuhan dasar kita, seperti rasa lapar. Contohnya, seseorang memberikan permen kepada anak kecil sebagai hadiah.

b)  Penguatan sekunder (secondary reinforcer), penguatan ini berkaitan dengan properti yang kita dapatkan, seperti uang. Contohnya, seseorang yang diberikan uang, akan menyadari kalau uang ini dapat digunakannya untuk membeli sesuatu yang lebih baik.

Dengan dua hal tersebut antara permen dan uang, kita dapat menunjukkan permen sebagai unconditional stimulus untuk kesenangan, dan uang menjadi conditional stimulus untuk kesenangan. Antara operant conditioning dan classical conditioning memang mirip, namun berbeda dalam prosesnya. Operant conditioning lebih menekankan respon sukarela, hasilnya berupa peningkatan respons yang telah terjadi, dan menganggap konsekuensi adalah hal yang penting. Sedangkan classical conditioning mengarah kepada respons tidak disengaja, pembentukkan respons baru sebagai hasil, dan rangsangan sebelumnya diperlukan dalam asosiasi perilaku.

Selain itu, Skinner kembali membagi jenis penguatannya berdasarkan konsekuensi yang diberikan :

a)   Penguatan positif (positive reinforcement), suatu konsekuensi diberikan diikuti dengan hadiah (reward), sehingga kemungkinan perilaku terulang semakin besar. Penguatan ini memberikan pengalaman dari konsekuensi menyenangkan. Contohnya adalah ketika seseorang berhasil mendapatkan peringkat dalam lomba, kemudian kepala sekolah memberikannya apresiasi karena membawa nama baik sekolah. Contoh lainnya ketika seseorang mendapatkan gaji setelah bekerja.

b)  Penguatan negatif (negative reinforcement), suatu konsekuensi diberikan dengan cara menghapus sesuatu yang tidak menyenangkan juga meningkatkan kemungkinan perilaku terulang. Contohnya seperti seseorang kecanduan untuk mengonsumsi obat penghilang rasa sakit. Contoh lainnya yaitu ketika seseorang menghindari penalti namun justru menambah beban pajak seseorang itu. Hal tersebut disebut penguatan negatif karena menghindari konsekuensi yang tidak menyenangkan yaitu penalti.

Skinner (1956) menemukan bahwa setiap penguatan memiliki waktu tertentu. Efek penguatan sebagian (partial reinforcement effect) adalah sebuah respons yang hanya diterima sebagian. Respons yang benar akan diperkuat dan lebih tahan, daripada respons yang menerima penguatan terus menerus (continuous reinforcement). Contohnya adalah kita dibayar untuk setiap pekerjaan yang kita hasilkan.

Dalam pengkondisian ini juga dikenal beberapa variabel. Variabel itu diantaranya jadwal interval tetap, jadwal variabel interval, jadwal rasio tetap, dan jadwal rasio variabel. Jadwal interval tetap adalah ketika kita mendapatkan penguatan yang stabil setiap waktunya, misalnya mendapatkan gaji setiap bulan. Jadwal variabel interval ketika individu harus merespons dalam rangka mendapatkan perubahan penguatan dari waktu ke waktu. Jadwal rasio tetap adalah jumlah tanggapan untuk menerima penguatan selalu berjumlah sama. Terakhir ada jadwal rasio variabel yaitu jumlah tanggapan berubah dari satu percobaan ke percobaan lainnya. Selain penguatan positif dan penguatan negatif, juga dikenal istilah hukuman (punishment). Hukuman yaitu suatu konsekuensi diterima untuk mengurangi respons di masa mendatang. Hukuman berbeda dengan penguatan. Penguatan ditunjukkan untuk menguatkan respons, sedangkan hukuman untuk melemahkan respons. Hukuman berkaitan dengan segala sesuatu yang tidak menyenangkan.

Ada 2 jenis hukuman yang bisa terjadi :

a)  Hukuman dengan aplikasi (punishment by application), terjadi ketika sesuatu tidak menyenangkan ditambahkan dalam situasi. Contohnya, seorang anak mendapat pukulan di tangan karena tidak patuh terhadap aturan orang tuanya. Menurut Straus (2000), jenis hukuman inilah yang mengantarkan perkembangan anak pada tingkat kekerasan.

b) Hukuman dengan penghapusan (punishment by removal), jenis hukuman ini menghilangkan perilaku menyenangkan setelah perilaku tersebut terjadi. Contohnya, seorang remaja kehilangan kebebasannya karena tidak diperbolehkan pergi bermain dengan teman-temannya. Alasannya disebabkan karena ketidakpatuhan remaja tersebut. Contoh lainnya kita kehilangan hak berkendara karena sebelumnya kita banyak kecelakaan.

Setelah itu, operant conditioning biasa digunakan untuk memodifikasi perilaku. Dimana seseorang dapat mengubah perilaku tidak menyenangkan menjadi menyenangkan dengan cara ini. Modifikasi perilaku merujuk kepada aplikasi dari operant conditioning untuk mendatangkan perubahan. Dalam proses memodifikasi perilaku juga terdapat ekonomi token. Sebagai contoh, ketika anak kecil mengumpulkan poin untuk ditukarkan dengan hadiah, maka poin tersebut dapat kita sebut sebagai token. Alat lain yang digunakan untuk memodifikasi perilaku adalah proses time out. Proses ini sebagai bentuk hukuman ringan dengan cara menghapus hewan, anak, atau orang dewasa, dari perilaku yang kurang pantas.

Cara lain untuk memodifikasi perilaku yaitu dengan menggunakan Applied Behavior Analysis (ABA) yang digunakan untuk menganalisis perilaku sekarang dan teknik berperilaku untuk mengatasi masalah sosial secara relevan. Penerapan ABA dilakukan untuk membentuk perilaku yang diinginkan pada individu autisme. Margolin dan Kubic (1944) menjelaskan proses lain yang disebutnya sebagai umpan balik biologis (biofeedback). Istilah ini digunakan untuk umpan balik biologis dari informasi dan melalui ini masalah dapat diatasi. Semakin berkembangnya zaman, biofeedback berkembang menjadi neurofeedback yang mencoba mengubah aktivitas otak.

Cognitive Learning Theory

Pada awal perkembangan behaviorisme, fokus Watson, Skinner, dan para behavioris lainnya berada pada perilaku yang dapat diamati dan diukur. Apapun yang mungkin terjadi di dalam diri seseorang atau kepala hewan selama learning dianggap tidak menarik bagi behavioris karena tidak dapat dilihat dan diukur secara langsung. Sedangkan Psikolog lainnya, bagaimanapun masih tertarik dalam pengaruh pikiran atas perilaku. Misalnya psikolog gestalt yang sedang mempelajari cara pikiran manusia mencoba memaksakan pola ke rangsangan di dunia sekitar orang tersebut. Ketertarikan terus menerus dalam pikiran ini diikuti pada 1950-an dan 1960-an, dengan membandingkan pikiran manusia dengan cara kerja hal-hal yang menakjubkan “thinking machines,” komputer. Segera setelah itu minat pada kognisi, peristiwa mental yang terjadi di dalam pikiran seseorang saat berperilaku, psikologi eksperimental mulai mendominasi. Banyak psikolog yang menganut behaviorisme tidak bisa lagi mengabaikan pikiran, perasaan, dan harapan yang jelas ada dalam pikiran dan yang tampaknya mempengaruhi perilaku yang dapat diamati dan akhirnya mulai mengembangkan teori pembelajaran kognitif untuk melengkapi teori belajar yang lebih tradisional (Kendler, 1985). Tiga tokoh penting dalam yang sering disebut sebagai theorists kunci dalam perkembangan awal teori belajar kognitif adalah Edward C. Tolman, Wolfgang Köhler, serta Martin Seligman.

1.     Tolman’s Maze-Running Rats: Latent Learning

Salah satu eksperimen paling terkenal Edward C. Tolman dalam pembelajaran terlibat dalam mengajar tiga kelompok tikus labirin yang sama, satu per satu. Dalam kelompok pertama, masing-masing tikus ditempatkan di labirin dan diperkuat dengan makanan untuk keluar sisi lain. Tikus itu kemudian ditempatkan kembali di labirin, diperkuat setelah menyelesaikan labirin lagi, dan seterusnya sampai tikus berhasil memecahkan labirin tanpa kesalahan. Tikus kelompok kedua diperlakukan dengan tepat seperti yang pertama, kecuali bahwa mereka tidak pernah menerima apapun penguatan saat keluar dari labirin. Mereka cukup masukkan kembali lagi dan lagi, sampai tanggal 10 hari percobaan. Pada hari itu, tikus-tikus di kelompok kedua mulai menerima penguatan untuk keluar dari labirin. Tikus kelompok ketiga, berfungsi sebagai kelompok kontrol, juga tidak dipaksa dan tidak diberi penguatan untuk seluruh durasi percobaan.

Seorang behavioris Skinnerian yang ketat akan memprediksi bahwa hanya kelompok tikus pertama yang akan belajar labirin berhasil karena belajar tergantung pada penguatan konsekuensi. Pertama, ini tampaknya menjadi kasus. Kelompok pertama tikus memang memecahkan labirin setelah tertentu jumlah percobaan, sedangkan yang kedua dan ketiga kelompok tampaknya berkeliaran tanpa tujuan di sekitar labirin sampai secara tidak sengaja menemukan jalan keluar mereka. Namun, pada hari ke 10 terjadi sesuatu yang sulit dijelaskan dengan menggunakan hanya prinsip dasar Skinner. Kedua sekelompok tikus, setelah menerima penguatan untuk pertama kalinya, seharusnya memakan waktu lama sebagai kelompok pertama yang memecahkan labirin. Alih-alih, mereka mulai memecahkan labirin segera.

Tolman menyimpulkan bahwa tikus di kelompok kedua, sambil berkeliaran di 9 hari pertama percobaan, memang telah belajar di mana semua jalan buntu, salah belokan, dan jalur yang benar disimpan dan disimpan sebagai semacam "mental map", atau peta kognitif tata letak fisik labirin. Tikus-tikus pada kelompok kedua memiliki mempelajari dan menyimpan pembelajaran itu secara mental tetapi belum menunjukkan pembelajaran ini karena tidak ada alasan untuk melakukannya. Peta kognitif tetap tersembunyi, atau laten, sampai tikus memiliki alasan untuk menunjukkan pengetahuan mereka dengan mendapatkan makanan. Tolman menyebut ini latent learning. Gagasan bahwa belajar dapat terjadi tanpa penguatan dan kemudian mempengaruhi perilaku bukanlah sesuatu yang tradisional pengkondisian operan bisa menjelaskan.

 


2.     Köhler’s Smart Chimp: Insight Learning

Eksplorasi lain dari elemen kognitif pembelajaran muncul hampir secara kebetulan. Wolfgang Köhler (1887–1967) adalah seorang psikolog Gestalt yang menjadi terdampar di pulau di Canaries (serangkaian pulau di lepas pantai Afrika Utara) saat Perang Dunia saya pecah. Terjebak di lab penelitian primata yang pertama kali menariknya ke pulau itu, dia beralih ke studi tentang pembelajaran hewan.

Dalam salah satu studinya yang lebih terkenal, dia membuat masalah untuk salah satu simpanse. Sultan simpanse dihadapkan pada masalah bagaimana cara mendapatkan pisang itu ditempatkan di luar jangkauannya di luar kandangnya. Sultan menyelesaikan masalah ini secara relatif dengan mudah, pertama mencoba menjangkau melalui jeruji dengan lengannya, lalu menggunakan tongkat yang tergeletak di kandang untuk menyapu pisang ke dalam kandang. Karena simpanse adalah pengguna alat alami, ini perilaku tidak mengejutkan dan masih tidak lebih dari pembelajaran simple trial-and-error.

Tapi kemudian masalahnya menjadi lebih sulit. Pisang diletakkan begitu saja jangkauan lengan Sultan dengan tongkat di tangannya. Pada titik ini ada dua tongkat tergeletak di sekitar kandang, yang dapat dipasang bersama untuk membuat satu tiang yang cukup panjang untuk mencapai pisang. Sultan mencoba pertama satu tongkat lalu yang lain (simple trial and error). Setelah sekitar satu jam mencoba, Sultan tampak untuk memiliki kilasan inspirasi yang tiba-tiba. Dia mendorong satu tongkat keluar dari kandang sejauh itu akan menuju pisang dan kemudian mendorong tongkat lainnya di belakang yang pertama. Tentu saja, ketika dia mencoba menarik tongkat itu kembali, hanya tongkat yang ada di tangannya yang datang. Dia melompat-lompat dan sangat bersemangat, dan ketika Köhler memberinya yang kedua tongkat, dia duduk di lantai kandang dan melihat mereka dengan hati-hati. Dia kemudian memasang satu menempel ke yang lain dan mengambil pisangnya. Köhler menyebut kecepatan "perception of relationships" Sultan insight dan bertekad bahwa wawasan tidak dapat diperoleh melalui belajar coba-coba saja (Köhler, 1925). Meskipun Thorndike dan lainnya lebih awal ahli teori pembelajaran percaya bahwa hewan tidak dapat menunjukkan wawasan, karya Köhler tampaknya menunjukkan bahwa wawasan membutuhkan "coming together" yang tiba-tiba dari semua elemen masalah dalam semacam momen "aha" yang tidak diprediksi oleh studi pembelajaran hewan tradisional. Penelitian yang lebih baru juga menemukan dukungan untuk konsep wawasan hewan, namun masih terdapat kontroversi mengenai bagaimana menginterpretasikan hasil penelitian.

3.     Seligman’s Depressed Dogs: Learned Helplessness

Ada dua kelompok anjing, yang telah mereka latih dan yang belum. Pengujian dilakukan dalam kotak khusus yang didalamnya terdapat pagar rendah yang membagi dua kotak tersebut. Anjing yang belum dilatih dapat melompati pagar saat diberi suara yang mengejutkan, sedangkan anjing yang telah terlatih hanya diam dan pasrah saja karena takut terkena sengatan listrik saat melompat. Anjing yang telah dilatih mempelajari bahwa tidak ada cara untuk kabur dari keterkejutan. Seligman menyebutnya sebagai konsep ketidakberdayaan. 

Seligman memperluas konsepnya untuk menjelaskan perilaku orang depresi. Ia mengatakan depresi merupakan ketidakberdayaan yang dipelajari. Orang depresi  mungkin telah belajar melalui pengalaman masa lalu bahwa mereka tidak punya kendali terhadap apa yang terjadi, sehingga mereka hanya pasrah tanpa melakukan apapun, seperti anjing percobaan Seligman. Ia juga meyakini ketidakberdayaan yang dipelajari tersebut dapat memainkan peran penting terhadap kondisi kesehatan.

Observational Learning

Observational learning merupakan suatu pembelajaran yang dilakukan dengan memperhatikan atau mengamati tindakan yang dilakukan oleh orang lain. Secara singkatnya pengertian dari teori ini adalah manusia mempelajari sesuatu dari meniru tindakan dan perilaku orang lain. Observational learning dikemukakan oleh Albert Bandura. Bandura mengemukakan pendapatnya bahwa tindakan atau perilaku manusia tidak hanya berasal dari refleks yang terjadi secara otomatis dari stimulus saja melainkan perilaku manusia juga terbentuk akibat adanya peniruan dari perilaku orang lain.

Bandura melakukan suatu ekperimen yang dikenal dengan nama “Eksperimen Boneka Bobo” Karena dalam eksperimennya menggunakan boneka bobo yang bentuknya seperti badut. Dalam pelaksanaan eksperimennya ini, Bandura menggumpulan beberapa anak prasekolah yang kemudian dimasukan kedalam ruangan secara bergantian, hal ini dilakukan agar anak-anak tidak saling mempengaruhi. Didalam satu ruangannya hanya terdiri atas satu anak dan satu model orang dewasa. Pada percobaan yang diberikan pada anak pertama, si anak akan diberikan model yang agresif terhadap bonekanya seperti melakukan tindakan memukul dengan palu, melempar, memukul dan juga meneriaki bonekanya. Sedangkan pada percobaan anak kedua akan diberikan model yang tidak agresif kepada bonekanya, model hanya akan bermain seperti biasa dengan bonekanya. Lalu setelahnya anak-anak akan ditinggalkan sendiri didalam ruangan tersebut Bersama dengan bonekanya. Alhasil dalam ekperimen ini anak pertama yang diberikan model agresif akan cendrung berperilaku agresif pula terhadap bonekanya, sementara pada anak kedua hanya akan bermain biasa bahkan mengabaikan bonekanya.

Penelitian selanjutnya akan dilakukan dengan tiap anak akan diminta untuk menonton tayangan orang yang agresif kepada boneka bobo. Dalam tayangan itu disatu sisi model akan mendapatkan pujian atas tindakan dan di sisi lainnya model akan dihukum atas tindakannya. Lalu, Bandura mengamati anak pertama yang tetap melakukan Tindakan agresif kepada boneka bobo sedangkan anak kedua tidak. Bandura, mecoba mengimingi anak kedua dengan memberikan hadiah jika ia melakukan perbuatan agresif kepada boneka bobo, barulah anak kedua berani melakukan Tindakan agresif. Anak pertama dan kedua sama-sama diberikan tayangan yang sama, namun hanya anak pertama yang melakukan Tindakan agresif tanpa perlu diminta untuk melakukannya.

Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan Bandura, terdapat empat element yang diharuskan ada dalam observational learning, yakni :

1.   Attention (perhatian), agar bisa mengimitasi aksi tertentu, subjek harus memberikan perhatian lebih kepada Tindakan yang dilakukan model secara focus dan terperinci.

2.    Memory (ingatan), proses mengingat perilaku yang telah diperhatikan yang kemudian disimpan dalam bentuk memori. Ketika suatu perilaku akan dilakukan maka memori itu akan dipanggil Kembali berupa ingatan agar dapat meniru perilaku yang telah diamati atau di pelajari.

3.  Imitation (meniru), memperagakan kembali apa yang telah dilakukan oleh model sebagai bentuk menguji kemampuan subjek dalam mengingat aksi yang diberikan.

4.  Desire (keinginan), yakni si subjek harus memiliki kemauan untuk meniru dan melakukan perilaku, seperti yang telah dibuktikan dalam penelitian Bandura. Misalnya, subjek akan enggan melakukan Tindakan jika diberikan hukuman, namun sebaliknya jika subjek diberikan hadiah maka subjek akan menjadi lebih bersemangat untuk melakukan tindakan karena adanya motivasi yang mendorongnya.

Komentar

Postingan Populer